Profil Desa Sewu
Ketahui informasi secara rinci Desa Sewu mulai dari sejarah, kepala daerah, dan data lainnya.
Tentang Kami
Kelurahan Sewu, jantung budaya di tepi Bengawan Solo, Surakarta. Dikenal dengan tradisi Grebeg Apem Sewu, kawasan bersejarah ini bertransformasi menjadi kampung wisata yang memadukan potensi ekonomi kreatif dan kearifan lokal di tengah tantangan alam.
-
Pusat Tradisi dan Budaya
Rumah bagi ritual tahunan "Grebeg Apem Sewu" dan situs bersejarah Pohon Pamrih, yang berakar dari sejarah Keraton Kasunanan Surakarta
-
Kawasan Bersejarah Tepi Sungai
Memiliki sejarah panjang sebagai pelabuhan sungai yang menjadi urat nadi perekonomian masa lalu dan kini dikembangkan menjadi wisata air dan ruang publik
-
Transformasi dan Ketahanan Komunitas
Menunjukkan semangat adaptasi yang tinggi, mengubah citra kawasan padat penduduk yang rentan banjir menjadi kampung wisata kreatif sambil terus berupaya mengatasi tantangan hidrologi

Terletak di bibir timur Kota Surakarta, Kelurahan Sewu di Kecamatan Jebres menyajikan potret dinamis sebuah kawasan yang hidup di antara warisan sejarah keraton, denyut tradisi dan geliat transformasi modern. Dikenal luas melalui prosesi budaya "Grebeg Apem Sewu", kelurahan ini bukan hanya menjadi penjaga kearifan lokal, tetapi juga contoh nyata ketahanan masyarakat dalam mengubah tantangan menjadi peluang di tepi sungai terpanjang di Pulau Jawa, Bengawan Solo.
Kawasan ini memiliki narasi yang kuat, terjalin dari masa lalu sebagai gerbang ekonomi Surakarta hingga kini sebagai kampung wisata yang terus berbenah. Sejarah mencatat Sewu sebagai tempat bermukimnya para abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta yang disebut Nayoko Sewu, yang menjadi cikal bakal nama "Sewu". Keberadaannya yang strategis di dekat Bengawan Solo menjadikannya pelabuhan sungai yang ramai pada abad ke-18, titik vital bagi lalu lintas perdagangan yang membentuk karakter ekonomi dan sosial masyarakatnya. Kini, warisan itu bertransformasi menjadi fondasi pengembangan potensi lokal yang unik dan menarik.
Geografi dan Demografi: Hidup Harmonis di Bantaran Sungai
Secara geografis, Kelurahan Sewu menempati posisi unik yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan Sungai Bengawan Solo. Letaknya di dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 110 meter di atas permukaan laut menjadikan kawasan ini memiliki karakteristik khas sebagai wilayah bantaran sungai.
Kelurahan Sewu memiliki luas wilayah sekitar 46,6 hektar (0,466 kilometer persegi). Berdasarkan data tahun 2020, jumlah penduduknya mencapai 7.204 jiwa. Dengan luas tersebut, tingkat kepadatan penduduk di Kelurahan Sewu tergolong sangat tinggi, yakni mencapai sekitar 15.459 jiwa per kilometer persegi, menjadikannya salah satu kelurahan terpadat di Kota Surakarta.
Adapun batas-batas wilayah administrasi Kelurahan Sewu meliputi:
Sebelah Utara: Berbatasan dengan Kelurahan Jagalan.
Sebelah Timur: Dibatasi oleh aliran Sungai Bengawan Solo, yang sekaligus menjadi penanda batas dengan Kabupaten Sukoharjo.
Sebelah Selatan: Berbatasan dengan Kelurahan Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon.
Sebelah Barat: Berbatasan dengan Kelurahan Gandekan.
Kepadatan penduduk dan kedekatannya dengan sungai menjadi dua faktor utama yang membentuk dinamika sosial dan lingkungan di Sewu. Di satu sisi, kepadatan menciptakan interaksi sosial yang erat dan gotong royong yang kuat. Di sisi lain, lokasi di tepi Bengawan Solo membawa tantangan hidrologis yang berulang, terutama banjir saat musim penghujan. Namun masyarakat telah mengembangkan sistem adaptasi dan mitigasi, hidup secara harmonis dengan ritme alam sungai yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Sejarah dan Budaya: Merawat Tradisi Grebeg Apem Sewu
Kekuatan utama Kelurahan Sewu terletak pada kekayaan sejarah dan tradisi budayanya yang terus hidup. Puncak dari ekspresi budaya ini ialah "Grebeg Apem Sewu", sebuah ritual tahunan yang telah menjadi bagian dari kalender pariwisata Kota Surakarta. Tradisi ini bukan sekadar festival, melainkan sebuah upacara yang sarat dengan nilai syukur, sejarah, dan spiritualitas.
Menurut cerita yang diwariskan turun-temurun, tradisi ini bermula dari anjuran Ki Ageng Gribig, seorang ulama penyebar Islam di Jawa, untuk membuat seribu kue apem dan membagikannya sebagai bentuk tolak bala dan rasa syukur setelah wilayah tersebut terhindar dari wabah penyakit (pageblug). Kue apem, yang berasal dari kata Arab `afwun` atau ampunan, menjadi simbol permohonan maaf dan keselamatan.
"Grebeg Apem Sewu adalah wujud syukur kami kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini juga cara kami mengenang leluhur dan menjaga warisan budaya agar tidak lekang oleh zaman," ujar seorang tokoh masyarakat setempat.
Prosesi kirab ini biasanya diikuti oleh seluruh elemen masyarakat dari 9 Rukun Warga (RW) yang ada di Sewu. Gunungan besar yang tersusun dari ribuan kue apem diarak keliling kampung sebelum akhirnya didoakan dan dibagikan kepada warga. Acara ini tidak hanya mempererat tali persaudaraan, tetapi juga menjadi magnet yang menarik wisatawan untuk menyaksikan keunikan budaya lokal.
Selain Grebeg Apem, Sewu juga menjadi rumah bagi situs bersejarah lain seperti Pohon Pamrih. Konon, pohon ini menjadi lokasi Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengku Buwono I) bertirakat untuk memantapkan hati dalam perjuangannya melawan penjajah. Keberadaan situs-situs ini mengukuhkan posisi Sewu sebagai kawasan yang memiliki kedalaman historis yang berkaitan erat dengan perjalanan Keraton Surakarta.
Potensi Ekonomi dan Pariwisata: Transformasi Menuju Kampung Wisata Kreatif
Menyadari potensi besar yang dimilikinya, Kelurahan Sewu secara perlahan bertransformasi dari pemukiman padat menjadi sebuah kampung wisata yang menjanjikan. Dengan dukungan pemerintah kota dan inisiatif warga, kawasan bantaran sungai yang sebelumnya terkesan kumuh kini ditata menjadi ruang publik yang menarik dan produktif.
Salah satu ikon baru dari transformasi ini ialah Taman Apem Sewu. Taman yang berlokasi di dekat Pintu Air Demangan ini menawarkan pemandangan indah Sungai Bengawan Solo, menjadi tempat bersantai sekaligus spot foto yang populer. Pembangunan taman ini merupakan bagian dari upaya lebih besar untuk mengubah wajah bantaran sungai menjadi destinasi wisata air dan edukasi.
Potensi ekonomi masyarakat juga terus digali. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi tulang punggung perekonomian lokal. Produksi kue apem, yang awalnya hanya untuk kebutuhan tradisi, kini mulai dikembangkan sebagai produk oleh-oleh khas Sewu. Berbagai pelatihan dan pendampingan, seperti yang pernah diinisiasi oleh Komunitas Perempuan Kampung Sewu (KPKS), terus didorong untuk meningkatkan kualitas dan pemasaran produk lokal.
"Kami ingin Sewu tidak hanya dikenal karena banjirnya, tetapi karena kreativitas dan budayanya. Kami sedang berupaya agar produk-produk dari warga kami bisa dikenal lebih luas dan meningkatkan kesejahteraan," ungkap seorang pengurus lembaga kemasyarakatan di Sewu.
Kombinasi antara wisata budaya (Grebeg Apem), wisata sejarah (Pohon Pamrih), dan wisata ruang terbuka (Taman Apem Sewu) menciptakan sebuah paket pariwisata yang komprehensif. Pengembangan ini diharapkan mampu membuka lapangan kerja baru dan memberikan dampak ekonomi langsung bagi masyarakat.
Tantangan dan Harapan: Hidup di Garis Depan Bencana Banjir
Di balik segala potensinya, Kelurahan Sewu tidak bisa lepas dari tantangan utama: banjir. Luapan Sungai Bengawan Solo merupakan ancaman tahunan yang selalu mengintai. Meskipun tanggul telah dibangun di sepanjang sungai, beberapa wilayah di dataran yang lebih rendah, terutama yang berada di sisi timur tanggul, masih sering tergenang.
Berita mengenai banjir di Sewu kerap menghiasi media lokal, seperti yang terjadi pada awal tahun 2025 ketika belasan rumah kembali terendam. Kejadian ini menjadi pengingat konstan akan kerentanan geografis wilayah tersebut. Namun, tantangan ini pula yang menempa mentalitas warga Sewu menjadi komunitas yang tangguh dan adaptif. Sistem peringatan dini berbasis komunitas, kesiapsiagaan melalui tim sukarelawan seperti Sibat (Siaga Bencana Berbasis Masyarakat), dan semangat gotong royong menjadi modal sosial yang kuat dalam menghadapi bencana.
Pemerintah Kelurahan dan Kota Surakarta terus berupaya mencari solusi jangka panjang, mulai dari normalisasi sungai, perbaikan sistem drainase, hingga penguatan tanggul. Harapan ke depan ialah terwujudnya sebuah Kelurahan Sewu yang tidak hanya maju dari segi pariwisata dan ekonomi, tetapi juga tangguh dan aman dari bencana.
Sebagai penutup, Kelurahan Sewu merupakan sebuah mikrokosmos dari kehidupan masyarakat urban di bantaran sungai. Ia menyimpan narasi tentang bagaimana sejarah dan tradisi dapat menjadi fondasi untuk membangun masa depan. Dengan semangat transformasi dan ketahanan yang luar biasa, Sewu terus mengukir ceritanya sendiri sebagai denyut nadi budaya yang berdetak kencang di tepi Bengawan Solo, membuktikan bahwa warisan masa lalu dan tantangan masa kini dapat diolah menjadi sebuah harapan yang cerah.